Pernah mimpi bangun kesiangan dan ketinggalan pesawat? Persis mimpi itulah yang saya alami pagi ini. Suasana hatinya terburu-buru, tapi dalam hati tahu, saya tidak akan sampai di bandara tepat waktu.
Kata para pakar psikoanalisis, mimpi sering merupakan cerminan mengenai apa yang tengah berlangsung di alam bawah sadar. Perasaan tertekan termanifestasi dalam suasana saat kontrol terhadap diri sadar nyaris nihil. Mimpi adalah ungkapan jiwa yang tengah mencari keseimbangan.
Di tengah pandemi yang berlarut larut, kerja carut marut serta masa depan tak menentu yang membuat pikiran kalut, ketakutan, kecemasan, perasaan sendiri menyelinap, mulanya diam-diam lama-lama menciptakan suasana batin mencekam. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Sering semua berakhir dengan sekedar hidup, mencari kesibukan untuk membunuh waktu.
Dari luar, orang mungkin bisa menerka dari gelagat kebingungan mencari tempat nyaman di dalam rumah; sekedar mengecek update teman di sosial media, menggeser layar terus menerus sampai tak terhingga; melihat kembali postingan lama sekedar melihat momen momen yang terlupa; kemudian meletakkan HP, tak lama lalu mengambilnya lagi tanpa tahu apa yang mau dilakukan. Mengambil buku, membukanya, membaca beberapa halaman hanya untuk menjumpai kebosanan. Serba salah, serba tidak nyaman. Apakah familiar dengan suasana batin itu?
Itulah salah satu gelagat bahwa psikis tengah dirundung pandemi digital zaman ini: fear of missing out, takut ketinggalan trend, takut kehilangan keterhubungan/koneksi dengan apa yang terjadi di luar, apa yang dikerjakan orang lain.
Saya rasa mimpi ketinggalan pesawat itu bercerita mengenai perasaan tertekan yang lebih sering diabaikan di tengah kesibukan. Tampak sibuk mengerjakan berbagai hal yang dalam hati kurang ditemukan makna dan nilai bagi pribadi. Mimpi itu juga berkisah mengenai waktu dan energi yang terlampau banyak dipakai untuk mencari keterhubungan di luar.
Mimpi, kecemasan, kegalauan adalah sebuah undangan untuk sejenak beristirahat, mengambil rehat dari keterhubungan dengan yang serba di luar dan serba tampaknya untuk menjumpai diri sejati dan mencari koneksi ke dalam. Undangan untuk menjumpai sunyi, menemukan keseimbangan, membangun kembali keterhubungan.
Persis perjalanan ke dalam itu yang sering terlupa di tengah hiruk pikuk dan drama di arena digital. Wabah di luar memang memaksa semua mengambil jarak fisik dan sosial dan melipatgandakan eksposur pada yang digital. Tanpa proporsi, tsunami eksposur digital itu rawan menjadi kegandrungan dan lintang pukang menuju kecanduan. Mungkin sudah tiba saatnya berpikir mengenai digital distancing, sesekali mengambil jarak dari yang serba online, mendekatkan diri pada yang offline, demi keseimbangan, keselarasan dan jiwa yang sentosa.
Kata para pakar psikoanalisis, mimpi sering merupakan cerminan mengenai apa yang tengah berlangsung di alam bawah sadar. Perasaan tertekan termanifestasi dalam suasana saat kontrol terhadap diri sadar nyaris nihil. Mimpi adalah ungkapan jiwa yang tengah mencari keseimbangan.
Di tengah pandemi yang berlarut larut, kerja carut marut serta masa depan tak menentu yang membuat pikiran kalut, ketakutan, kecemasan, perasaan sendiri menyelinap, mulanya diam-diam lama-lama menciptakan suasana batin mencekam. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Sering semua berakhir dengan sekedar hidup, mencari kesibukan untuk membunuh waktu.
Dari luar, orang mungkin bisa menerka dari gelagat kebingungan mencari tempat nyaman di dalam rumah; sekedar mengecek update teman di sosial media, menggeser layar terus menerus sampai tak terhingga; melihat kembali postingan lama sekedar melihat momen momen yang terlupa; kemudian meletakkan HP, tak lama lalu mengambilnya lagi tanpa tahu apa yang mau dilakukan. Mengambil buku, membukanya, membaca beberapa halaman hanya untuk menjumpai kebosanan. Serba salah, serba tidak nyaman. Apakah familiar dengan suasana batin itu?
Itulah salah satu gelagat bahwa psikis tengah dirundung pandemi digital zaman ini: fear of missing out, takut ketinggalan trend, takut kehilangan keterhubungan/koneksi dengan apa yang terjadi di luar, apa yang dikerjakan orang lain.
Saya rasa mimpi ketinggalan pesawat itu bercerita mengenai perasaan tertekan yang lebih sering diabaikan di tengah kesibukan. Tampak sibuk mengerjakan berbagai hal yang dalam hati kurang ditemukan makna dan nilai bagi pribadi. Mimpi itu juga berkisah mengenai waktu dan energi yang terlampau banyak dipakai untuk mencari keterhubungan di luar.
Mimpi, kecemasan, kegalauan adalah sebuah undangan untuk sejenak beristirahat, mengambil rehat dari keterhubungan dengan yang serba di luar dan serba tampaknya untuk menjumpai diri sejati dan mencari koneksi ke dalam. Undangan untuk menjumpai sunyi, menemukan keseimbangan, membangun kembali keterhubungan.
Persis perjalanan ke dalam itu yang sering terlupa di tengah hiruk pikuk dan drama di arena digital. Wabah di luar memang memaksa semua mengambil jarak fisik dan sosial dan melipatgandakan eksposur pada yang digital. Tanpa proporsi, tsunami eksposur digital itu rawan menjadi kegandrungan dan lintang pukang menuju kecanduan. Mungkin sudah tiba saatnya berpikir mengenai digital distancing, sesekali mengambil jarak dari yang serba online, mendekatkan diri pada yang offline, demi keseimbangan, keselarasan dan jiwa yang sentosa.