Being digital always means being phygital. Di tengah kegandrungan umat manusia akan yang serba digital yang sekarang ini dipercepat dan diintensifkan di tengah pandemi koronavirus kiranya perlu diingatkan bahwa dunia fisik tetap sama pentingnya. Fisik tetap menjadi bagian utuh dari semesta digital. Baik digital maupun yang fisik perlu sama-sama diberi porsi perhatian.
Phygital ini menjadi dulunya catatan penting yang muncul dari kosa kata profesi pemasaran. Figital mengawinkan elemen baik dan penting dari matra digital dengan matra fisik untuk mencapai pengalaman optimal bagi pelanggan/pengguna. Tentu, digital tidak menggantikan yang fisik tetapi memperkuatnya. Pun yang fisik memperkuat pengalaman digital. Adagium kuncinya: digital at the fore, humans at the core. Wajah luarnya adalah digital, namun sejatinya manusia lah inti dari semuanya.
Di beberapa kesempatan pelatihan, saya membagikan cara baru hidup ber-figital itu dengan berbagai latihan, misalnya:
1. distansi atau mengambil jarak. Ini bukan bagian dari kosa kata 'social distancing' terkait pandemi COVID-19. Distansi berarti latihan mengambil jarak dengan sengaja mencari waktu di rutinitas sehari-hari untuk disconnect dari Internet atau piranti digital utamanya HP. Pemutusan atau switch off, selama beberapa menit di tempat yang terlihat, dan merefleksikan perasaan yang muncul dan gerak batin yang timbul. Umumnya, bagi mereka yang sudah terlanjur terhubung dengan semesta digital, ada perasaan ketakutan dan kecemasan ketinggalan info dan kekinian, yang sering diistilahkan sebagai fear of missing out (FOMO). Rasa cemas dan kekhawatiran itu bagi beberapa orang terasa begitu intens dan mencekam, setara dengan rasa sakau efek ketergantungan obat.
2. assessment pribadi mengenai berapa lama waktu dihabiskan di depan layar atau screen time (mulai dari HP, komputer, televisi, bioskop)
Saya mencoba membuat kategorisasi untuk menakar tingkat produktivitas sekaligus kecanduan digital. Takaran itu sifatnya pribadi karena itu perlu dilakukan dengan penuh kesadaran dan kejujuran. Semakin jujur semakin bagus untuk melihat di mana diri kita di tingkatan produktivitas dan kecanduan digital.
3. Latihan menuliskan rutinitas sehari-hari berdasarkan kejadian hari ini: berapa jam offline, berapa jam online? Untuk kegiatan apa saja? Apakah ada pola yang terbentuk?
4. Latihan digital decluttering. Cek kembali semua aplikasi berdasarkan pemakaian dan kepentingan selama kurun waktu tertentu, misalnya tiga bulan terakhir. Berdasarkan assessment itu, hapus aplikasi yang tidak digunakan sembari tetap menilik gerak perasaan yang muncul. Selanjutnya, masukkan latihan itu dalam jadual pengingat, misalnya di Google Calendar supaya selalu bisa dilakukan secara terjadual dan teratur.
Di dalam semesta figital berlaku hukum alam bagi organisme untuk bertahan hidup dalam keseimbangan dan berkelanjutan. Hukum pertama adalah asupan atau intake nutrisi yang tepat. Tepat di sini baik dalam arti porsinya, waktu konsumsinya, maupun kesesuaiannya dengan kondisi diri. Oleh karena itu, mengandaikan observasi pribadi untuk menilai porsi dan waktu mana yang tepat dan cocok dengan diri.
Hukum kedua adalah latihan digital. Guna latihan ini adalah untuk mengasah keterampilan digital untuk senantiasa naik kelas melewati tantangan yang semakin berat. Saya akan bahas lebih detail latihan digital ini di postingan selanjutnya. Latihan digital penting untuk mencapai hasil optimal sebagaimana atlet perlu berlatih untuk mencapai versi terbaiknya.
Hukum ketiga adalah waktu offline yang cukup. Seperti di dunia nyata, orang perlu tidur dan beristirahat, pun di matra digital, orang perlu waktu offline agar tetap sehat dan seimbang.