Orang tua dan guru adalah para imigran di era digital. Mereka warga asing yang tidak lahir dan menghabiskan masa kecil bersama eksposur digital secara intens. Alhasil, bagi mereka, dunia ini terasa bukan rumah mereka. Atau, dunia ini terasa asing bagi mereka.
Hambatan mental inilah yang sering membuat orang tua dan guru mengambil jarak dengan segala hal yang berbau digital. Celakanya, teknologi digital berkembang pesat. Maka jarak melebar hingga menjadi jurang tak terjembatani yang mengasingkan orang tua dan guru dengan generasi post-milenial yang dilahirkan dan dibesarkan dalam dunia serba-digital.
Keterasingan menjadi sebab gagalnya komunikasi, gampang salah paham, hingga tercetus konflik antargenerasi. Yang senior menganggap yunior bersikap kurang ajar dan tak punya tata krama, sedang yang yunior menganggap si senior ketinggalan zaman dan berpikiran purba serta layak segera di-museumkan.
Bagaimana pun di dunia digital ini, rumah dan sekolah adalah tempat mereka berjumpa dan berinteraksi, suka atau tidak suka, dan sebenarnya tempat yang bisa saling memperkaya dengan pengalaman hidup masing-masing.
Tentu dibutuhkan pedagogi baru dalam parenting maupun proses belajar-mengajar yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Membuka pintu dari dalam
Orang tua berkepentingan mendidik putra-putri mereka, sedangkan guru terhadap murid-murid mereka. Menjadi orang tua dan guru adalah panggilan untuk memikirkan pertama dan terutama masa depan anak atau murid, di atas kepentingan ego pribadi mereka. Karena itu, inisiatif awal membuka jalur komunikasi sebelum bisa menuju ke tahap saling memahami adalah dengan menyadarkan orang tua dan guru pada panggilan awali dan asali mereka.
Dalam hal ini, sebagai orang tua dan guru, mereka dipanggil untuk rela belajar mengejar ketertinggalan digital, rela bersusah payah mengatasi kecemasan karena berhadapan dengan hal baru yang tak dimengerti, serta kerendahanhati mengakui ke-gaptek-an. Semua itu adalah pintu yang dibuka dari dalam sebagai modal utama bagi tercapainya saling memahami antara dua generasi yang berbeda.
Tanpa upaya ‘membuka pintu dari dalam’, sekedar pelatihan teknis mengenai teknologi digital terkini hanya akan menjadi siksaan tambahan bagi orang tua dan guru yang sudah merasa terasing dari generasi anak-murid.
Panggilan untuk 100 persen hadir
Para orang tua dan guru juga terpanggil untuk hadir sepenuhnya di tengah kesibukan mereka untuk mendampingi generasi anak-murid. Kehadiran itu lebih sikap hati daripada kehadiran secara fisik. Ungkapan-ungkapan dan cara berkomunikasi penting untuk selalu terekspresi dalam perhatian terhadap anak/murid.
Perhatian itu sengaja dipraktikkan setiap hari, setiap momen demi momen, dengan seminimal mungkin melakukan judgement atau penilaian baik-buruk, benar-salah. Fokus perhatian adalah hadir bagi mereka untuk memahami mereka dalam seluruh kekayaan dimensinya.
Kapasitas baru untuk belajar teknologi digital
Demikianlah, maka terbukalah jalan bagi orang tua dan guru untuk memiliki kapasitas yang lebih besar dalam rangka belajar teknologi digital. Mengapa? Panggilan sebagai pendamping orang muda lah yang memampukan orang tua dan guru memiliki kesabaran terhadap diri sendiri, bahwa mereka lambat belajar dan tidak cukup cepat mengerti dunia yang baru. Di mata si yunior, tentu upaya si senior itu mungkin awalnya dirasa sebagai ancaman intrusi terhadap privasi, namun ketulusan motivasi yang berdasar panggilan sebagai orang tua dan guru, akan dengan sendirinya meluruskan pemahaman yang bengkok, dan pada akhirnya menjadi jembatan pemahaman antargenerasi.
By Damar Harsanto