Pertumbuhan manusia dari kecil hingga dewasa membutuhkan nutrisi yang cukup baik dari sisi jumlah maupun kualitas nutrisinya. Kecukupan makanan dan nutrisi itu penting terutama pada 1000 hari pertama sejak konsepsi hingga anak berumur dua tahun. Defisit makanan dan nutrisi di fase awal itu menciptakan manusia stunted (kerdil) yang menghambat pertumbuhannya di fase-fase selanjutnya.
Tidak hanya itu, manusia yang stunted juga lebih rentan terkena infeksi dan penyakit kronis di masa dewasa, memiliki kognisi dan kinerja yang lemah. Ujung-ujungnya produktivitas dan harapan hidup menjadi tak maksimal.
Bagaimana dengan perkembangan digital seseorang?
Era digital ini ditandai dengan konsumsi yang cenderung semakin berlebihan terhadap informasi berkat perkembangan internet, teknologi dan sosial media. Jika pengetahuan adalah mata uang di dunia moderen, maka pengetahuan itu sekarang tersedia dan gampang diakses, serta jumlahnya berlimpah-limpah, lagi-lagi berkat digitalisasi segala pengetahuan menjadi materi menjadi byte. Kamus setebal 1000 halaman, mungkin sekarang ini bisa diakses dengan Google Translate app yang hanya butuh memori kurang dari 100 kilo byte yang terpasang di telepon pintar karena seluruh informasi tersedia di server awan milik Google. Kuliah dan seminar bertahun-tahun sekarang bisa dikonversi menjadi webinar yang bisa dipelajari oleh siapapun, kapan pun dan di manapun.
Di samping pengetahuan yang ‘baik’, tentu juga ada pengetahuan yang ‘tidak baik’, atau pengetahuan yang rentan dipergunakan untuk melakukan kejahatan, menyakiti orang, memperdaya orang. Pengetahuan tak baik itu pun menjadi berlipat-lipat jumlah dan kadarnya.
Singkatnya, baik nutrisi dan racun sekarang ini tersedia berlimpah dan dikonsumsi secara berlebihan. Ungkapan generasi ‘micin’ untuk menamai orang yang ketagihan camilan yang bervetsin meski tahu bahwa itu tak sehat adalah contoh bahwa orang tak lagi punya resistensi pada apa yang bernutrisi maupun apa yang beracun.
Demikian pula, konsumsi digital yang berlimpah bisa menghasilkan ketidaksehatan: obesitas digital atau kurang gizi digital, bagi generasi muda warga pribumi digital (digital natives) yang lahir dan tumbuh dalam ekosistem digital namun tidak mengkonsumsi konten digital yang ‘bernutrisi’ bagi perkembangan mental, sosial, spiritualnya. Tak heran, kaum digital natives punya cacat bawaan rentan terhadap penyakit digital. ‘Baper’, kecemasan berlebihan, tidak peduli sekitar, kecanduan game, kecanduan pornografi adalah gelagat kerentanan gara-gara kelebihan in-take digital yang tak sehat atau in-take digital yang tak bernutrisi. Generasi ini tidak punya referensi lain mengenai dunia tanpa digital.
Satu-satunya modal yang dimiliki oleh digital natives adalah bahwa dunia digital adalah bagai nafas dalam kehidupan mereka. Mereka sangat ahli dan menguasai tips dan trick untuk hidup dan tumbuh di dunia digital itu secara organik. Sebagaimana pertumbuhan teknologi yang berubah cepat, mereka pun sangat familiar dengan perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Kepastian, kejelasan mungkin tidak terlalu menjadi perhatian mereka.
Bagaimana dengan generasi yang lebih tua yang sebelumnya tak pernah terekspose dengan digital (offline generation)?
Berbeda dengan kaum digital natives, generasi offline telah keburu melewati fase keemasan pertumbuhan untuk bisa memiliki kapasitas dan kecepatan yang memadai dalam mengadopsi perkembangan teknologi digital yang ada. Mereka terlalu tua untuk mengejar ketertinggalan. Memang, kelebihannya mereka pernah punya referensi bahwa dunia ini pernah nir-digital dan orang bisa tetap hidup bahagia di dalamnya.
Akan tetapi, dewasa ini tiba-tiba mereka merasa dunia ini bukan lagi dunia nir-digital yang mereka kenal sejak lama. Dunia berlari tunggang langgang dalam perubahan. Sungguhpun, mereka mau dan ingin berubah menjadi lebih digital tapi selalu terhambat karena secara digital mereka terlanjur kerdil (stunted). Dengan berat hati, pendidikan, pelatihan, pengayaan keterampilan sering tidak banyak membantu. Di satu sisi, konsumsi nutrisi digital tak lagi membuat mereka tumbuh dewasa. Di lain sisi, konsumsi racun digital justru gampang merusak karena kerentanan mereka.
Akan tetapi, dewasa ini tiba-tiba mereka merasa dunia ini bukan lagi dunia nir-digital yang mereka kenal sejak lama. Dunia berlari tunggang langgang dalam perubahan. Sungguhpun, mereka mau dan ingin berubah menjadi lebih digital tapi selalu terhambat karena secara digital mereka terlanjur kerdil (stunted). Dengan berat hati, pendidikan, pelatihan, pengayaan keterampilan sering tidak banyak membantu. Di satu sisi, konsumsi nutrisi digital tak lagi membuat mereka tumbuh dewasa. Di lain sisi, konsumsi racun digital justru gampang merusak karena kerentanan mereka.
Bisa dibayangkan dalam matriks pertumbuhan. Banyak dari mereka seperti anak yang tiba-tiba dibanjiri makanan sehat dan makanan tidak sehat sekaligus yang digelontorkan ke dalam mulut mereka secara berlebihan. Akibatnya, mual digital. Tak heran, yang ada adalah sikap curiga terhadap yang serba digital.
Di sisi lain, seperti anak-anak yang menikmati mainan baru, dunia digital adalah tempat bermain mereka yang mengasyikkan. Secara fisik mereka tua, secara digital, mereka adalah anak-anak. Ini kurang lebih bisa menjelaskan fenomena mengapa banyak hoaks, fitnah, hate speech lebih cepat beredar di kalangan offline generation di banding kaum digital natives.
Lalu, apa bahayanya digital stunting di generasi offline? Yang pasti, generasi offline yang mengalami stunting digital punya daya rusak lebih besar karena mereka terlibat dalam pendidikan, pendampingan dan parenting terhadap generasi digital natives.
Pengaruh apa yang mereka wariskan dan tularkan? Bagaimana generasi offline bisa diharapkan membantu kaum digital natives jika mereka sendiri menjadi bagian dari masalah?
By Damar Harsanto