Euforia warga Jakarta menggunakan layanan berbasis aplikasi, entah itu untuk layan antar dengan ojek maupun layanan aplikasi lain, pelan-pelan mereda, seiring keluhan dan kesaksian pengguna sebagaimana dilaporkan oleh beberapa media mengenai penyalahgunaan dan penyimpangan yang melibatkan penyedia layanan.
NR, seorang karyawati, menerima SMS dari pengojek yang pernah mengantarkannya ke kantor. SMS yang masih sopan, namun lama kelamaan mengganggu karena sang karyawati merasa data pribadinya sekarang diketahui orang lain yang tidak dia kehendaki bisa menyalahgunakannya.
Pertanyaannya, jika bekas pengojek dapat mendapatkan datanya beserta nomor telpon dengan mudah, bagaimana dengan nasib data-data pribadi lainnya yang dipergunakan untuk memperoleh layanan?
Belum lagi ada laporan mengenai beberapa penyedia layanan yang ‘nakal’ menggunakan kelemahan yang ada dalam sistem aplikasi untuk curang. Dengan memakai dua ponsel, satu dari penyedia aplikasi, satu lagi ponsel miliknya, si penyedia layanan kabarnya dapat ‘mengakali’ sistem dengan berpura-pura dipesan layanannya dan mengerjakan layanan. Dan, voila! Duit dari dua kantong mengalir untuk sesuatu kegiatan yang tidak pernah terjadi alias fiktif. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa email gampang dibuat, nomor telpon gampang dan murah digonta ganti.
Apakah sistem yang dimiliki oleh penyedia aplikasi cukup canggih untuk mengantisipasi kenakalan, atau mungkin kemudian jika lebih serius, kejahatan?
Orang berhak meragukan kesiapan si penyedia aplikasi. Karena mungkin tidak pernah terbayangkan bahwa perkembangan dan popularitas aplikasi menjadi sedemikian cepat dan meluas dan membutuhkan segera sistem yang lebih kompleks, rumit, canggih, antisipatif dan moderen dan tentunya aman dan terlindungi dengan baik.
Boro-boro memperbaiki sistem proteksi, pengembang aplikasi mungkin masih fokus menggalang pendanaan untuk memperkuat jaringan, menyempurnakan dan menambalsulam kelemahan-kelemahan dalam layanan sesuai dengan berbagai praktik yang terjadi di lapangan.
Belum lagi, masih segar di ingatan kasus-kasus kejahatan yang memanfaatkan Facebook, Twitter, dan media sosial meskipun sistem pengamanan yang canggih. Tentunya, hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi pengembang aplikasi.
Memang, terlalu dini untuk menghakimi atau bahkan menghambat perkembangan dan pengembangan layanan berbasis aplikasi yang masih seumur jagung. Ada banyak pekerjaan rumah untuk membuat layanan menjadi semakin sempurna, tidak hanya dari sisi pengembang aplikasi atau penyedia layanan, tetapi juga dari sisi pengawasan penegak hukum, regulator, hingga konsumen pengguna layanan.
Ada banyak wacana yang masih belum tersentuh, misalnya masalah regulasi industri, masalah pendanaan yang berkesinambungan, pengaturan dan perlindungan privacy, keamanan data konsumen, keamanan transaksi, sharing risiko yang fair baik bagi pengguna layanan maupun penyedia layanan, konektivitas yang bisa diandalkan, keselamatan kerja, rekruitmen dan screening yang ketat, dan lain sebagainya. Belum lagi kaitannya dengan konflik di lapangan dengan penyedia layanan tradisional.