Dulu anonimitas menjadi bagian dari cara bergerilya. Di zaman perang kemerdekaan, perang gerilya, dengan cara hit and run, membaur dengan masyarakat melalui penyamaran, menyerang secara tiba-tiba lalu menghilang, adalah strategi yang menakutkan bagi pemerintah penjajahan.
Strategi yang mengharuskan tentara menggunakan apa yang ada sebagai senjata dan alat, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, telah membuat Panglima Besar Jendral Soedirman menjadi pahlawan legendaris.
Anonim dalam perang gerilya adalah pilihan untuk sadar keterbatasan diri dan kemampuan lawan yang lebih lengkap persenjataannya dan lebih banyak dan stok amunisi dan makanan untuk jangka waktu yang relatif lama. Tujuannya, agar cita-cita perlawanan tetap menyala, menggerogoti mental dan kekuasaan penjajah sedikit demi sedikit.
Pasca kemerdekaan, menjadi anonim adalah pilihan yang diambil kembali untuk menghindari kejaran rejim penguasa yang cenderung menggunakan kekuasaan untuk menyingkirkan lawan politik. Belajar dari pengalaman-pengalaman buruk yang menimpa para pemberontak yang secara terbuka menyatakan perlawanan kepada pemerintah yang sah, umumnya berujung pada penangkapan, penahanan tanpa pengadilan, bahkan berujung pada hukuman mati, beberapa mengambil jalan menjadi anonim agar luput dari pengejaran.
Di era rejim Orde Baru, saat penguasa amat gampang tersinggung terhadap segala bentuk kritik, orang yang menginginkan harus menjual ide dan kritiknya dengan memakai nama pena agar tidak berujung pada nasib beberapa intelektual yang masuk penjara dan menjadi tahanan politik, atau terpaksa lari ke luar negeri mencari suaka politik karena dikejar-kejar oleh alat penguasa.
Pasca reformasi, anonimitas sebenarnya semakin kehilangan relevansinya ketika revolusi teknologi digital membuat sebaran informasi dan fakta menjadi sulit untuk dibendung dan dikontrol. Menjadi anonim menjadi tak lagi sexy karena justru yang diperlukan adalah reputasi yang dibangun lewat pencitraan dan unjuk diri.
Oleh karena itu, terbongkarnya praktek kotor pemerasan, pencemaran nama baik, yang melibatkan akun-akun anonim di sosial media dan platform digital lainnya, termasuk oleh admin akun Twitter TrioMacan2000, menyiratkan bahwa anonimitas sudah melenceng jauh dari tujuan mulianya.
Anonimitas di dunia sekarang ini masih dihargai manakala perlindungan saksi oleh negara belum dianggap memadai, manakala yang dilawan terlampau kuat menguasai kekuatan informasi.
Anonimitas jenis ini setara dengan anonimitas terorisme yang tujuannya adalah untuk kepentingan sendiri dan tega mencederai kemanusiaan. Pemakaian anonimitas oleh segerombolan gerilyawan digital sama saja dengan gerombolan prajurit bayaran di masa moderen. Mungkin lebih tepat untuk menamai praktek semacam ini sebagai social media/digital mercenary karena mereka adalah gerombolan elit yang faham seluk beluk sosial media dan dunia digital, namun memakai pengetahuan mereka untuk mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dan kelompoknya, dengan menyerang, menyebarkan fitnah, kebencian, memecahbelah, disinformasi terhadap pihak-pihak tertentu atas pesanan pihak yang bersedia membayar paling mahal.
Tentu ini saatnya para netizen untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap para tentara bayaran yang berkeliaran bebas di jagad maya dan merusak tata hidup bermasyarakat yang beradab dan bermartabat.
Lebih penting dari itu, tentara bayaran itu tidak akan tumbuh subur jika siapapun yang sedang mengejar kekuasaan, alergi untuk menggunakan cara-cara kotor dan tak terpuji, jahat dan tak sportif, untuk menyingkirkan lawan politik.
Tentu, ini masa yang penuh ujian bagi komunitas netizen Indonesia karena para tentara bayaran digital itu menggunakan alasan yang sama dengan para pahlawan kemerdekaan dalam perang gerilya. Seperti sulit melawan musuh dalam selimut, demikan pula, hanya komunitas sendiri yang dapat menghentikan aksi para tentara bayaran digital itu.
Bonus multimedia: Prime time news MetroTV