Setelah kurang lebih dua bulan, Urban Indonesia mengawan di dunia maya, dan setelah melalui berbagai laku tapa dan semedi untuk mendapatkan wahyu, akhirnya lahirlah cikal bakal logo Urban Indonesia yang akan menjadi 'rumah sementara' citra visual Urban Indonesia.
Latar Belakang atau backdrop
Logo menggunakan motif batik Parang Rusak sebagai latar kanvas visual. Parang Rusak termasuk baju kebesaran keraton. Dulu, hanya raja, permaisuri dan puteranya yang boleh memakai. Secara etimologis, kata parang berasal dari kata 'pereng', artinya pinggiran tebing yang membagi dataran tinggi dan dataran rendah dalam garis diagonal. Konon, istilah itu diilhami oleh penggambaran gugusan tebing di pantai selatan Pulau Jawa, terutama di Yogyakarta dan sekitarnya. Tak heran, pantai Parangtritis, pantai Parangkusumo, pantai Paranggupito menyandang nama dengan istilah parang ini juga.
Latar belakang logo sendiri menggunakan motif parang yang dikenal dengan Parang Rusak. Penciptanya adalah raja Jawa yang terkenal sakti mandraguna, Panembahan Senopati. Motif ini lahir dalam persemedian sang raja di pantai laut selatan. Dari namanya, Parang Rusak, motif ini merupakan penggambaran dari lereng karang yang rusak terkikis ombak pantai Selatan nan ganas. Selain Parang Rusak, ada puluhan motif parang yang ada, antara lain: Parang Baris, Parang Rusak Barong, Parang Pamor, Parang Klithik dan Parang Menang.
Warna coklat
Warna coklat pada batik menyiratkan warna tanah. Warna tanah itu menguatkan pandangan bahwa asal muasal batik bukanlah dari lingkungan keraton, melainkan dari kehidupan petani di pedesaan yang dekat dengan pertanian. Dari karya petani, batik dibawa masuk ke keraton pada masa penjajahan Belanda di mana keraton mulai menginventarisasi karya-karya batik rakyat, ketika perhatian utama keraton tertuju pada penghalusan kebudayaan (cultural refinement) sebagai ganti kegairahan politik ataupun ekonomi.
Batik juga dekat dengan kehidupan masyarakat pedesaan yang dekat dengan alam, terutama tanah. Tanah lah sumber kehidupan tempat tumbuhnya sumber makanan dan sumber air untuk kehidupan sehari-hari. Batik juga menyertai perjalanan hidup dari persiapan kelahiran hingga kematian. Batik yang dilukis dengan laku spiritual dan matiraga dengan falsafah yang dihayati bahwa harkat dan martabat pribadi seseorang tergambar dari cara dia berpakaian. Ajining dhiri ana ing pengagem.
Mengapa batik?
Batik bukan lagi milik Indonesia, apalagi suku tertentu (tercatat juga berbagai batik Nusantara dengan warna dan motif yang kaya), melainkan sudah menjadi warisan adiluhung dunia semenjak Unesco menahbiskan teknik pewarnaan tradisional batik sebagai Intangible Cultural Heritage pada tahun 2009, dan Hari Batik Dunia pun diperingati setiap tanggal 2 Oktober. Di sini, latar batik dipakai untuk menggambarkan jagat tempat manusia hidup di masa kini yang terus mencari makna dan akar budaya supaya tak kehilangan arah dan tersesat. Batik dalam bingkai bulat melambangkan keutuhan dan kesempurnaan. yang holistik.
Motif batik yang detil dan kompleks berdiskursus dengan simbolisasi gaya hidup urban: kopi.
Mengapa Kopi?
Di negeri-negeri Melayu, kebiasaan minum kopi bersama merupakan bagian dari komunalitas, orang duduk dan bercakap-cakap sambil menyeruput kopi. Pun di Indonesia, warung-warung kopi adalah rahimnya demokrasi ala Indonesia sebagaimana 'agora'nya Yunani. Dari tilikan kebudayaan, warung kopi menjadi tempat aman untuk bebas bicara tentang apa saja di era Soeharto yang bertangan besi pada segala bentuk kritik. Kopi melambangkan jiwa merdeka. Grup lawak Warkop mendokumentasikan secara kultural forum bagi rakyat jelata itu di dekade 80an dan 90an.
Selanjutnya, di era reformasi, warung kopi telah bermetamorfosis menjadi cafe dan kopitiam sebagai tempat nongkrong, tempat ketemu, tempat bersantai, bahkan tempat bekerja barangkali bagi para pekerja mandiri. Singkatnya, kisah kopi telah menjadi narasi penting dalam gaya hidup manusia urban.
Urban Indonesia
Urbanitas amat dekat dengan pendewaan atas yang instan, serba cepat, asal jadi yang kontras dengan latar yang klasik, rumit dan detil. Karena itu, sapuan kuas yang sederhana untuk menggambarkan kopi panas dimaksudkan sebagai diskursus antara urbanitas moderen dan akar tradisi, pralambang dialektika yang amat khas dari manusia dan masyakat urban masa kini.
Selain penjelasan atas warna coklat di atas, warna hitam dan putih dipilih untuk simbolisasi realitas paradoksal yang selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari semesta urban. Paradoks yang menarik narik manusia urban untuk aktif di sosial media namun terasing di lingkungan, cerdas tapi alay, profesional di tempat kerja tapi klenik di rumah, mengagungkan privacy namun mengumbarnya dalam narsis dan selfie, sopan di ruang publik namun beringas dan kejam di ruang privat, taat sembahyang tetapi rajin korupsi, dan lain sebagainya.
Semua, tentu dilakukan dalam bingkai keIndonesiaan yang diwakili warna Merah pada teks.
Terima kasih berkenan mampir!