Indonesia ini negerinya para pakar pengambil hikmah. Seburuk apapun pengalaman, orang berusaha untuk mengambil hikmahnya. Sepahit apapun realita yang dihadapi, selalu ada pelajaran yang dipetik.
Maka dari itu, ketika banyak orang menjadi amat emosional, marah, gusar dan berang terhadap hasil voting Dewan Perwakilan Rakyat yang memenangkan pilkada melalui DPRD atas pilkada langsung, saya memilih untuk melihat itu sebagai sebuah pelajaran politik bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pelajaran I: Perjuangan Demokrasi Jauh dari Selesai
Kita belajar dari pemilu presiden yang penuh drama, dan kemenangan presiden terpilih Jokowi-JK tidak diperoleh dengan gampang. Bahkan hingga hari ini pun kandidat yang kalah pun masih belum rela mengaku kalah. Mungkin ini bagian dari mental kekanak-kanakan, boys are always boys, ketika rebutan layangan. Jika anak lain yang duluan memperoleh layangan, menyobek layangan adalah cara jitu supaya tidak ada yang memperoleh layangan sama sekali.
Karena itu, kita boleh berterima kasih atas 'reminder' melalui anggota DPR yang dipilih langsung oleh rakyat bahwa kedaulatan rakyat itu harus diperjuangkan. Demokrasi Indonesia tidak pernah sesuatu yang otomatis, given.
Oleh karena itu, segala upaya lain untuk menganulir hasil DPR mengenai pilkada melalui DPRD harus tetap dilakukan. Tetap semangat. Ayo!!
Pelajaran II: Membuat track record politisi busuk
Dalam berdemokrasi, rakyat pun bisa salah pilih, dalam hal ini salah memilih wakilnya, yang ternyata lebih mementingkan kekuasaan daripada kepentingan rakyat. Tingkah laku elit DPR ini mengingatkan rakyat supaya lebih serius 5 tahun lagi dalam memilih wakilnya. Buat rekam jejak yang komprehensif berupa catatan nama, rekaman pertemuan, kliping atas muka-muka petinggi partai yang bertepuk tangan di Senayan supaya menjadi bagian dari memori gelap sejarah politik Indonesia di direktori 'pengkhianatan terhadap mandat rakyat dan pembunuhan demokrasi'.
Selanjutnya, masukkan rekam jejak itu pada mode tahun 2019, dan pastikan semua catatan itu otomatis terpublikasi secara luas. Lengkapi juga dengan rekaman kemarahan rakyat supaya kemarahan dan kegeraman atas pengkhianat dapat bangkit kembali melalui memori kolektif rakyat Indonesia. Maklum, kita sadar kita adalah bangsa pemaaf dan sering mudah lupa akan kesalahan orang.
Pelajaran III: Ada saatnya bersikap netral itu salah, terutama jika Anda sedang memegang kekuasaan.
Kemarahan rakyat yang tertumpah dengan tanda pagar #shameonSBY dan #RIPDemokrasi tentu terkait pada aksi walk out para anggota fraksi partainya presiden SBY. Partai Demokrat sepertinya gagal paham bahwa zaman sudah berubah. Landskap politik yang membuat mereka memenangkan pemilu selama dua periode telah berubah, sedangkan cara berpolitik tetap sama. Jika Demokrat tidak dalam posisi memegang suara penentu, 'game changer' mungkin ceritanya akan lain. Rakyat sudah belajar berani menentukan sikap dengan memilih antara dua kandidat presiden, dan mengesampingkan pilihan netral atau golput. Tak heran, ketika fraksi dari Demokrat memilih membuang pilihan penentu pada saat kedaulatan rakyat dipertaruhkan, rakyat tidak lagi bisa menerima posisi abu-abu semacam itu. Apalagi setelahnya, SBY sebagai pimpinan tertinggi Demokrat terkesan buang badan atas aksi kadernya. Di mata rakyat, sikap diam, ragu, abu-abu ketika kekuasaan untuk berkata Ya atau Tidak ada di tangannya adalah gelagat kemunafikan yang setara dengan kejahatan karena membiarkan perampasan kedaulatan rakyat terjadi.
Pelajaran IV: Elit politik kita adalah produk mesin politik yang korup. Kita bisa mengerti kalau hasilnya ya makhluk-mahluk tuna susila dan etika. Partai politik harus terus ditantang untuk mengevaluasi visi misi mereka dan kaderisasi yang menghasilkan politisi yang bermartabat dan amanah terhadap rakyat yang memilihnya.
Pelajaran V: Rese banget sih nih DPR. Tau ga kalau Rupiah ambles dan saham jeblok gara-gara tingkah polah mereka! Nah, ini sekedar catatan bagi saya supaya lima tahun lagi saya masih kesel dan 'empet' melihat mereka yang di Senayan jika membaca tulisan ini kembali.
Maka dari itu, ketika banyak orang menjadi amat emosional, marah, gusar dan berang terhadap hasil voting Dewan Perwakilan Rakyat yang memenangkan pilkada melalui DPRD atas pilkada langsung, saya memilih untuk melihat itu sebagai sebuah pelajaran politik bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pelajaran I: Perjuangan Demokrasi Jauh dari Selesai
Kita belajar dari pemilu presiden yang penuh drama, dan kemenangan presiden terpilih Jokowi-JK tidak diperoleh dengan gampang. Bahkan hingga hari ini pun kandidat yang kalah pun masih belum rela mengaku kalah. Mungkin ini bagian dari mental kekanak-kanakan, boys are always boys, ketika rebutan layangan. Jika anak lain yang duluan memperoleh layangan, menyobek layangan adalah cara jitu supaya tidak ada yang memperoleh layangan sama sekali.
Karena itu, kita boleh berterima kasih atas 'reminder' melalui anggota DPR yang dipilih langsung oleh rakyat bahwa kedaulatan rakyat itu harus diperjuangkan. Demokrasi Indonesia tidak pernah sesuatu yang otomatis, given.
Oleh karena itu, segala upaya lain untuk menganulir hasil DPR mengenai pilkada melalui DPRD harus tetap dilakukan. Tetap semangat. Ayo!!
Pelajaran II: Membuat track record politisi busuk
Dalam berdemokrasi, rakyat pun bisa salah pilih, dalam hal ini salah memilih wakilnya, yang ternyata lebih mementingkan kekuasaan daripada kepentingan rakyat. Tingkah laku elit DPR ini mengingatkan rakyat supaya lebih serius 5 tahun lagi dalam memilih wakilnya. Buat rekam jejak yang komprehensif berupa catatan nama, rekaman pertemuan, kliping atas muka-muka petinggi partai yang bertepuk tangan di Senayan supaya menjadi bagian dari memori gelap sejarah politik Indonesia di direktori 'pengkhianatan terhadap mandat rakyat dan pembunuhan demokrasi'.
Selanjutnya, masukkan rekam jejak itu pada mode tahun 2019, dan pastikan semua catatan itu otomatis terpublikasi secara luas. Lengkapi juga dengan rekaman kemarahan rakyat supaya kemarahan dan kegeraman atas pengkhianat dapat bangkit kembali melalui memori kolektif rakyat Indonesia. Maklum, kita sadar kita adalah bangsa pemaaf dan sering mudah lupa akan kesalahan orang.
Pelajaran III: Ada saatnya bersikap netral itu salah, terutama jika Anda sedang memegang kekuasaan.
Kemarahan rakyat yang tertumpah dengan tanda pagar #shameonSBY dan #RIPDemokrasi tentu terkait pada aksi walk out para anggota fraksi partainya presiden SBY. Partai Demokrat sepertinya gagal paham bahwa zaman sudah berubah. Landskap politik yang membuat mereka memenangkan pemilu selama dua periode telah berubah, sedangkan cara berpolitik tetap sama. Jika Demokrat tidak dalam posisi memegang suara penentu, 'game changer' mungkin ceritanya akan lain. Rakyat sudah belajar berani menentukan sikap dengan memilih antara dua kandidat presiden, dan mengesampingkan pilihan netral atau golput. Tak heran, ketika fraksi dari Demokrat memilih membuang pilihan penentu pada saat kedaulatan rakyat dipertaruhkan, rakyat tidak lagi bisa menerima posisi abu-abu semacam itu. Apalagi setelahnya, SBY sebagai pimpinan tertinggi Demokrat terkesan buang badan atas aksi kadernya. Di mata rakyat, sikap diam, ragu, abu-abu ketika kekuasaan untuk berkata Ya atau Tidak ada di tangannya adalah gelagat kemunafikan yang setara dengan kejahatan karena membiarkan perampasan kedaulatan rakyat terjadi.
Pelajaran IV: Elit politik kita adalah produk mesin politik yang korup. Kita bisa mengerti kalau hasilnya ya makhluk-mahluk tuna susila dan etika. Partai politik harus terus ditantang untuk mengevaluasi visi misi mereka dan kaderisasi yang menghasilkan politisi yang bermartabat dan amanah terhadap rakyat yang memilihnya.
Pelajaran V: Rese banget sih nih DPR. Tau ga kalau Rupiah ambles dan saham jeblok gara-gara tingkah polah mereka! Nah, ini sekedar catatan bagi saya supaya lima tahun lagi saya masih kesel dan 'empet' melihat mereka yang di Senayan jika membaca tulisan ini kembali.