Meski judulnya berbau teknologi, tulisan ini dimaksudkan tentang manusia. Salah satu pembeda besar antara manusia dan hewan adalah kemampuan manusia untuk menjangkau realitas yang melampaui dirinya. Ya, istilah gayanya, transendensi diri. Kemampuan itulah yang memberi predikat untuk manusia sebagai manusia rohani, homo spiritualis.
Panggilan untuk menjadi rohani
Kemampuan yang inheren sebagai manusia rohani mengandung suatu undangan untuk semua manusia agar ia mengarahkan diri pada sesuatu yang melampaui dirinya. Ketika semua kebutuhan hidup dasariahnya tercukupi, manusia rindu akan yang lebih sekedar yang material. Ia rindu menggenapi panggilan dari dalam dirinya untuk menjangkau yang lebih sekedar material. Psikolog Abraham Maslow menyebut aktualisasi diri sebagai kebutuhan yang terletak di pucuk piramida kebutuhan dasariah manusia.
Dorongan untuk menjangkau yang melampaui diri berasal dari dorongan untuk memberi makna bagi hidup. Pertanyaan mengenai makna hidup adalah pertanyaan yang amat pribadi yang hadir ketika lahir dan tetap tinggal ketika sang manusia berkalang tanah. Apa artinya hidupku ini? Itulah pertanyaan yang mau dijawab oleh setiap orang sepanjang hayatnya.
Manakala jawaban tak kunjung memadai, orang terus diundang untuk mencari jawaban dan penjelasan akan makna hidupnya. Terkadang atau bahkan sering kali, ia dipaksa untuk mencari jawaban dari kenyataan yang melampau dirinya, dari yang Transenden, dari Tuhan. Disinilah panggilan untuk menjadi manusia rohani sering kali berasal sekaligus bermuara.
Ekosistem baru
Jika panggilan untuk menjadi manusia rohani inheren dalam diri manusia, maka panggilan itu bergema juga, dalam kadar dan derajat yang mungkin berbeda-beda, pada manusia zaman ini. Karena hidup di zaman moderen, semua manusia masa kini terpanggil menjadi manusia rohani di konteks tata-dunia masa kini.
Zaman mungkin perlu diartikan tidak hanya sebagai masa atau waktu, tapi juga ruang beserta isinya, terlebih interaksinya dengan keseluruhan tata dunia, yang sering disebut ekosistem.
Hukum alam mengajarkan bahwa ekosistem penting untuk dimengerti oleh manusia untuk bertahan hidup. Hukum alam mengajarkan berbagai tantangan yang harus ditaklukan untuk tetap hidup. Kegagalan merespon tantangan berujung kepunahan. Yang akan bertahan adalah mereka yang membuat dirinya paling fit, paling bisa beradaptasi dengan ekosistem.
Zaman moderen menyajikan ekosistem baru, atau lebih tepatnya ekosistem yang terus berubah. Orang masih lahir, tumbuh, menjadi tua dan mati, namun dunia tempat dia lahir, tumbuh, menjadi tua dan mati, terus berubah. Ekosistem tidak hanya bersifat fisik, terjamah tapi juga yang tak terjamah.
Contoh perubahan ekosistem, misalnya, tampak jelas ketika orang membuat jarak dan waktu menjadi relatif. Jakarta-Berlin lewat pesawat butuh waktu yang sama dengan Jakarta-Surabaya naik mobil.
Seorang teman yang bekerja pada sebuah bank multinasional mengeluh, waktu baginya lebih dari sekedar 24 jam, manakala dia dibangunkan untuk rapat teleconference, dari belahan bumi yang 6 jam dibelakang waktu Indonesia, ikut rapat di kantor seperti biasa, dan berikutnya rapat dengan kolega di belahan bumi lainnya yang waktunya 12 jam di depan waktu Indonesia.
Atau, seorang teman yang lain mengumpat habis-habisan ketika ia lupa memanen “kebun virtual” nya di permainan online di situs pertemanan, seolah-olah ia benar-benar seorang petani. Sepertinya, ia sudah mulai susah membedakan lagi antara yang real dan tak real.
Atau, ada orang yang hanya dengan duduk di depan layar komputer, dia kini dapat melakukan hal-hal yang beberapa dekade lalu tak terbayangkan, seperti transaksi bisnis lintas benua, mengikuti sesi diskusi ilmiah, hingga belanja perkakas dapur di e-market.
Sekedar untuk membuat wacana ini tak kunjung habis, filsuf Prancis, Jean Baudrillard, menyebut ekosistem baru sebagai hyper-real, realitas yang dilebih lebihkan, hanya untuk membohongi diri terhadap realitas yang telah punah.
Orang menamai semua ruang terbuka dengan kata Green, Jungle dan Park, padahal yang ada hanya beton; semua perusahaan mengharuskan karyawannya untuk tersenyum dan menyapa pelanggan, padahal cara dan sistem bekerja memaksa mereka bekerja seperti robot, dan berbagai contoh beserta “padahal’ yang lain.
Manusia rohani 2.0
Jika para nabi dan santo-santa serta para martir di era lalu adalah manusia rohani 1.0, maka seperti apakah manusia rohani 2.0? Para santo mungkin tidak akan hidup suci di zaman moderen karena mereka harus menjawab pertanyaan orang zaman ini, misalnya, mengenai bagaimana bertahan hidup dalam ekosistem yang baru.
Manusia rohani 2.0 adalah para pencari yang transenden di tata-dunia baru. Mereka manusia masa kini yang memenuhi panggilan dirinya untuk memaknai hidupnya dalam dunia yang berubah. Manusia rohani 2.0 mencari berbagai cara bertahan hidup dalam tata-dunia baru.
Salah satu konsep 1.0, adalah from one to many, dari satu ke banyak, dari satu orang mempengaruhi banyak orang, dari satu santo menginspirasi banyak orang. Sedangkan, konsep 2.0 adalah from many to many, dari banyak ke banyak. Apakah itu berarti manusia rohani 2.0 harus melibatkan diri dalam jaringan kerjasama dengan orang lain, untuk memaknai hidupnya dalam ekosistem baru? Mungkin saja.
Dulu para misionaris berkotbah dari mimbar ke mimbar untuk segelintir umat yang hadir dalam gedung gereja, sekarang kotbah bisa direkam, diupload ke Youtube, di-share, di-rekomendasikan, di-sebar di dunia maya dengan jangkauan tak terbatas waktu dan ruang. Apa arti semua itu bagi manusia rohani 2.0?
Ada banyak kemungkinan di tata-dunia baru, ada banyak kesempatan dan jalan untuk para manusia rohani 2.0 untuk memaknai hidup.
Setidaknya diktum 2.0 yang mungkin akan tetap relevan bagi manusia rohani 2.0 adalah:
Change is inevitable, (perubahan adalah sesuatu yang tak terhindarkan)
Progress is optional, (setiap perubahan belum tentu merupakan langkah maju)
and the future is now. (masa depan dimulai dari sekarang).